Adalah benar pendapat yang kerap menyatakan bahwa perjalanan demokrasi kita justru mundur jauh ke belakang. Era reformasi yang dianggap sebagai tonggal pembenahan dalam segala bidang, termasuk bidang politik, dalam perjalanannya justru membentur tembok beton berlapis baja.

Perkembangan politik menuju pembelajaran cara berdemokrasi yang baik dan benar—seperti harapan banyak orang—justru jalan di tempat, bahkan ada yang menganggap malah lebih buruk dari sebelumnya. Pada prakteknya para elit politik kita masih saja menggunakan cara konvensional.

Setidaknya cara-cara tradisional yang tadinya menjadi begitu sangat dihujat, justru kembali dilakukan para elit politik saat ini. Terlebih ditengah kesibukan mencari peruntungan nomor jadi pada proses pencalegan bagi partai politik peserta pemilu 2009.

Berlomba para elit partai politik mencari nomor topi. Dengan menghalalkan berbagai cara, para elit partai politik bukan saja saling sikut, namun untuk agar mendapat nomor jadi, mereka juga melakukan strategi konvensional yakni kolusi korupsi dan nepotisme plus koncoisme.

Tujuan menjadi calon anggota legislatif—terlebih yang diraih dari hasil sikut menyikut—nampaknya bukan lagi murni untuk memperjuangkan aspirasi konstituennya(rakyat) melalui partai politik. Lebih dari itu, menjadi anggota legislatif karena melihat peluang besar dapat mengumpulkan materi lebih banyak terbuka di depan mata.

Tahapan penyerahan daftar caleg oleh partai politik peserta Pemilu 2009 kepada Komisi Pemilihan Umum baru dimulai 14 Agustus hingga 19 Agustus. Namun, perebutan nomor jadi daftar calon legislatif pada masing-masing partai politik peserta Pemilu, sudah kian memanas.

Para elit yang dekat elit tertinggi partai politik sudah mengklaim diri menjadi calon legislatif nomor jadi dari partainya. Klaim itu misalnya dengan memulai menebar pesona mencari simapti rakyat, tentunya dengan cara konvensional.

Meski belum tentu dicalonkan partainya sebagai calon anggota legislatif, namun para pencari popularitas ini telah mencuri “start kampanye” dengan misalnya menggelar berbagai even yang melibatkan banyak orang—paling sering adalah menggelar even olahraga hingga tingkat rukun tetangga.

Mereka yang merasa popularitasnya meningkat dengan even yang digelarnya, merasa sudah cukup modal untuk mendekati penguasa partai politiknya untuk dapat menduduki nomor urut topi. Ada lagi mereka yang punya materi berlebih merasa berada di atas angin, karena menganggap tidak sulit menduduki nomor jadi untuk melenggang ke gedung wakil rakyat.

Begitulah setidaknya persaingan para elit politik untuk dapat duduk di kursi empuk di negeri yang katanya tengah membangun dan menegakkan demokrasi dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Nyatanya, rakyat melihat sendiri bagaimana yang dulu sudah dibuang jauh-jauh, kini justru diambil kembali hanya untuk mengejar ambisi kekuasaan.

0 komentar